Sambutan Dr Netty Prasetiyani dalam Seminar Nasional Inovasi Penanganan Stunting Milad 21 BSMI
by bsmi / 18 Jun, 2023
Oleh Dr. Hj.Netty Prasetiyani, MSi (Anggota Komisi IX DPR RI)
Saya mengapresiasi BSMI mengangkat tema stunting yang menjadi isu di nasional. Dalam berbagai rapat kerja bersama Kementerian Kesehatan bersama BKKBN dan juga unsur lainnya, saya memiliki memiliki komitmen yang sama hari ini bahwa stunting adalah permasalahan secara nasional.
Stunting ini menjadi satu isu yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Bukan hanya soal kekurangan gizi hari ini tapi dalam jangka panjang mempengaruhi ketahanan nasional kita, bisa mengalami kekurangan pemimpin dan SDM yang unggul dan berkualitas mengingat anak stunting selain tumbuh tidak sehat dalam konteks intelektual kemampuan setara kelas 1 SD.
Maka di peraturan perundangan diperlukan juga unsur masyarakat sipil termasuk BSMI bisa berperan di dalamnya dalam rangkaian Milad 21 ini.
Jika pemerintah punya Perpres No 75 tahun 2021 yang mengamanatkan BKKBN sebagai koordinator percepatan penanganan stunting nasional ada beberapa catatan:
Pertama, perspektif berbagai pihak tentang stunting masih harus terus diluruskan dan diperbaiki, sehingga akan ada satu pemahaman yang utuh bahwa stunting ini bukan sekadar tumbuh pendek atau kerdil tapi yang lebih kita tekankan stunting adalah kekurangan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan dan dampaknya jangka panjang.
Jika definisi stunting dipahami secara utuh, maka tugas berat berikutnya melakukan kerja-kerja untuk meluaskan jangkauan. Kita berikan catatan ketika bidan, perawat dan kader pendamping keluarga baik di Posyandu maupun di pendampingan lainnya harus melakukan pendekatan dan pengukuran yang sama sehingga definisi pengurangan stunting bisa ditegakkan. Bukan sekadar perkiraan dan tidak berdasar alat pengukuran yang baik. Harus ada sarana dan prasarana yang standar di semua lini. Persebarannya di Puskesmas se-Indonesia tidak dapat ditunda-tunda.
Ketiga soal pengukuran angka prevalensi stunting kita. Sampai hari ini data stunting pemerintah turun dari 24 persen ke 21 persen. Saya tanya bagaimana pengukurannya, fokus dimana sehingga bisa turun? dengan cara apa kita bisa melakukan strateginya?
Pendataan stunting ini masih diperdebatkan antara Kemenkes dan stekholder lainnya. Di Kemenkes ada Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) sementara kader di Posyandu juga melakukan pendataan secara manual dengan metode dengan metode e-PPGBM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) yang dicatat by name by adress.
Sementara di BKKBN juga melakukan Pendataan Keluarga Indonesia yang memiliki data bayi stunting juga by name by adress. Jadi kita meminta secara jujur dan transparan dan paling akurat, angka stunting ini penggunaan data yang mana yang bisa kita percaya untuk menurunkan stunting.
Lalu secara baseline adanya kebijakan kementerian/lembanga yang terlibat dalam penanganan stunting baik secara langsung maupun tidak langsung ada 17 kementerian/lembaga dengan BKKBN sebagai koordinator. Ternyata jika kita bicara penanganan stunting ada faktor langsung dan tidak langsung.
Misalnya intervensi spesifik dalam pemberian asupan gizi ini sebagian besar programnya ada di Kementerian Sosial. Pertanyaannya pada saat Kemensos hingga Dinas Sosial di daerah menyalurkan dan mendistribusikan perlindungan kepada keluarga Indonesia apakah sudah disertai dengan pemahaman bahwa bantuan ini seharunya bisa menurunkan stunting. Angkanya cukup besar hingga Rp 23 triliun. Ini kita baru satu mata anggaran belum yang lain.
Intervensi spesifik ini pemberian makanan tambahan berbasis bahan baku lokal. Protein hewani di lingkungan sekitar harus benar-benar dimanfaatkan. Saya garisbawahi dan penting jangan sampai ada pelanggaran atau fraud atas anggaran yang sudah kita sediakan untuk penanganan stunting.
Sementara program intervensi tidak langsung ada banyak program. Sebutlah renovasi rumah tidak layak huni di Kementerian PUPR. Bantuan untuk perumahan swadaya seperti rumah tidak layak huni dengan nominal RP 20 juta, 17,5 juta untuk bahan dan sisanya untuk ongkos mengerjakan. Namun yang sangat disayangkan salah satu item yang kita harapkan dilakukan ini adalah pengadaan jamban sehat. Ternyata pembangunan jamban sehat ini tidak dilakukan. Ini penyebab tidak langsung adalah jamban sehat yang jarang dimiliki keluarga Indonesia.
Belum lagi akses air bersih, tidak semua keluarga Indonesia menikmati akses air bersih. Hal ini menjadi penyebab tidak langsung masalah stunting. Perlu mendapatkan perhatian selain jamban sehat, air bersih pola pengasuhan di keluarga menjadi penyebab tidak langsung dan perubahan ini tidak mudah dan semudah telapak tangan
Kita semua adalah produk keluarga dan tidak minta dilahirkan dari keluarga mana. Namun realitas keluarga Indonesia hari ini banyak anak lahir dari suami-istri yang tidak memiliki komitmen pengasuhan yang baik.
Data keluarga prasejahtera BKKBN mencapai 16 sekian juta atau kurang lebih 11 jutaan keluarga Indonesia masuk prasejahtera. Katakan skema keluarga kecil 1 keluarga 4 orang maka ada 40 jutaan individu. Ini bukan perkara mudah mengubah paradigma dengan pola pengasuhan yang diwariskana secara turun menurun.
Asupan gizi, pola komunikasi dan bagaimana orang tua memaknai kehadiran anak sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak mulai dari rahim ibunya sampai lahir dua tahun pertama.
Dengan angka partisipasi kasar di angka 8,4 tahun, artinya anak-anak Indonesia bersekolah sampai kelas 2 SMP kemudian keluar dengan berbagai alasan. Kita bayangkan kualitas keluaurga Indonesia di bawah 19 tahun harus menikah, lulus SD harus menikah dengan calon suami yang tidak memiliki pengetahuan cukup menjadi orang tua yang baik. Maka bisa dipastikan menyebabkan tingginya angka stunting nasional.
Saya berharap BSMI terus memiliki komitmen yang tinggi hadirnya masyarakat yang sehat dan berkualitas. Saya berharap kepada BSMI di usia yang 21 tahun melaukan sesuatu, baik yang bersifat promotif, preventif dan kuratif pada persoalan stunting.
BSMI pada usia 21 ini semakin kontributif utamanya persolan stunting ini. Jauh lebih sulit mengubah paradigma kebiasan terutama di kalangan keluarga. Termasuk membangun visi yang baik bagi para remaja dan pemuda menyiapkan mereka sehat dan visioner dari lajang hingga menjadi suami dan istri menjadi orang tua tentu pekerjaan rumah dan tantangan kita semua.
Saya berada di ruangan tepat untuk menitipkan harapan itu kepada BSMI, kita diikat satu value yang sama yakni Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk lingkungan.
Kita berhadap BSMI semakin besar, semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat dan semakin memiliki jaringan kerja yang luas sehingga menjadi satu basis kepercayaan yang membangun kerjasama dengan BSMI.
Saya mengapresiasi BSMI mengangkat tema stunting yang menjadi isu di nasional. Dalam berbagai rapat kerja bersama Kementerian Kesehatan bersama BKKBN dan juga unsur lainnya, saya memiliki memiliki komitmen yang sama hari ini bahwa stunting adalah permasalahan secara nasional.
Stunting ini menjadi satu isu yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Bukan hanya soal kekurangan gizi hari ini tapi dalam jangka panjang mempengaruhi ketahanan nasional kita, bisa mengalami kekurangan pemimpin dan SDM yang unggul dan berkualitas mengingat anak stunting selain tumbuh tidak sehat dalam konteks intelektual kemampuan setara kelas 1 SD.
Maka di peraturan perundangan diperlukan juga unsur masyarakat sipil termasuk BSMI bisa berperan di dalamnya dalam rangkaian Milad 21 ini.
Jika pemerintah punya Perpres No 75 tahun 2021 yang mengamanatkan BKKBN sebagai koordinator percepatan penanganan stunting nasional ada beberapa catatan:
Pertama, perspektif berbagai pihak tentang stunting masih harus terus diluruskan dan diperbaiki, sehingga akan ada satu pemahaman yang utuh bahwa stunting ini bukan sekadar tumbuh pendek atau kerdil tapi yang lebih kita tekankan stunting adalah kekurangan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan dan dampaknya jangka panjang.
Jika definisi stunting dipahami secara utuh, maka tugas berat berikutnya melakukan kerja-kerja untuk meluaskan jangkauan. Kita berikan catatan ketika bidan, perawat dan kader pendamping keluarga baik di Posyandu maupun di pendampingan lainnya harus melakukan pendekatan dan pengukuran yang sama sehingga definisi pengurangan stunting bisa ditegakkan. Bukan sekadar perkiraan dan tidak berdasar alat pengukuran yang baik. Harus ada sarana dan prasarana yang standar di semua lini. Persebarannya di Puskesmas se-Indonesia tidak dapat ditunda-tunda.
Ketiga soal pengukuran angka prevalensi stunting kita. Sampai hari ini data stunting pemerintah turun dari 24 persen ke 21 persen. Saya tanya bagaimana pengukurannya, fokus dimana sehingga bisa turun? dengan cara apa kita bisa melakukan strateginya?
Pendataan stunting ini masih diperdebatkan antara Kemenkes dan stekholder lainnya. Di Kemenkes ada Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) sementara kader di Posyandu juga melakukan pendataan secara manual dengan metode dengan metode e-PPGBM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) yang dicatat by name by adress.
Sementara di BKKBN juga melakukan Pendataan Keluarga Indonesia yang memiliki data bayi stunting juga by name by adress. Jadi kita meminta secara jujur dan transparan dan paling akurat, angka stunting ini penggunaan data yang mana yang bisa kita percaya untuk menurunkan stunting.
Lalu secara baseline adanya kebijakan kementerian/lembanga yang terlibat dalam penanganan stunting baik secara langsung maupun tidak langsung ada 17 kementerian/lembaga dengan BKKBN sebagai koordinator. Ternyata jika kita bicara penanganan stunting ada faktor langsung dan tidak langsung.
Misalnya intervensi spesifik dalam pemberian asupan gizi ini sebagian besar programnya ada di Kementerian Sosial. Pertanyaannya pada saat Kemensos hingga Dinas Sosial di daerah menyalurkan dan mendistribusikan perlindungan kepada keluarga Indonesia apakah sudah disertai dengan pemahaman bahwa bantuan ini seharunya bisa menurunkan stunting. Angkanya cukup besar hingga Rp 23 triliun. Ini kita baru satu mata anggaran belum yang lain.
Intervensi spesifik ini pemberian makanan tambahan berbasis bahan baku lokal. Protein hewani di lingkungan sekitar harus benar-benar dimanfaatkan. Saya garisbawahi dan penting jangan sampai ada pelanggaran atau fraud atas anggaran yang sudah kita sediakan untuk penanganan stunting.
Sementara program intervensi tidak langsung ada banyak program. Sebutlah renovasi rumah tidak layak huni di Kementerian PUPR. Bantuan untuk perumahan swadaya seperti rumah tidak layak huni dengan nominal RP 20 juta, 17,5 juta untuk bahan dan sisanya untuk ongkos mengerjakan. Namun yang sangat disayangkan salah satu item yang kita harapkan dilakukan ini adalah pengadaan jamban sehat. Ternyata pembangunan jamban sehat ini tidak dilakukan. Ini penyebab tidak langsung adalah jamban sehat yang jarang dimiliki keluarga Indonesia.
Belum lagi akses air bersih, tidak semua keluarga Indonesia menikmati akses air bersih. Hal ini menjadi penyebab tidak langsung masalah stunting. Perlu mendapatkan perhatian selain jamban sehat, air bersih pola pengasuhan di keluarga menjadi penyebab tidak langsung dan perubahan ini tidak mudah dan semudah telapak tangan
Kita semua adalah produk keluarga dan tidak minta dilahirkan dari keluarga mana. Namun realitas keluarga Indonesia hari ini banyak anak lahir dari suami-istri yang tidak memiliki komitmen pengasuhan yang baik.
Data keluarga prasejahtera BKKBN mencapai 16 sekian juta atau kurang lebih 11 jutaan keluarga Indonesia masuk prasejahtera. Katakan skema keluarga kecil 1 keluarga 4 orang maka ada 40 jutaan individu. Ini bukan perkara mudah mengubah paradigma dengan pola pengasuhan yang diwariskana secara turun menurun.
Asupan gizi, pola komunikasi dan bagaimana orang tua memaknai kehadiran anak sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak mulai dari rahim ibunya sampai lahir dua tahun pertama.
Dengan angka partisipasi kasar di angka 8,4 tahun, artinya anak-anak Indonesia bersekolah sampai kelas 2 SMP kemudian keluar dengan berbagai alasan. Kita bayangkan kualitas keluaurga Indonesia di bawah 19 tahun harus menikah, lulus SD harus menikah dengan calon suami yang tidak memiliki pengetahuan cukup menjadi orang tua yang baik. Maka bisa dipastikan menyebabkan tingginya angka stunting nasional.
Saya berharap BSMI terus memiliki komitmen yang tinggi hadirnya masyarakat yang sehat dan berkualitas. Saya berharap kepada BSMI di usia yang 21 tahun melaukan sesuatu, baik yang bersifat promotif, preventif dan kuratif pada persoalan stunting.
BSMI pada usia 21 ini semakin kontributif utamanya persolan stunting ini. Jauh lebih sulit mengubah paradigma kebiasan terutama di kalangan keluarga. Termasuk membangun visi yang baik bagi para remaja dan pemuda menyiapkan mereka sehat dan visioner dari lajang hingga menjadi suami dan istri menjadi orang tua tentu pekerjaan rumah dan tantangan kita semua.
Saya berada di ruangan tepat untuk menitipkan harapan itu kepada BSMI, kita diikat satu value yang sama yakni Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk lingkungan.
Kita berhadap BSMI semakin besar, semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat dan semakin memiliki jaringan kerja yang luas sehingga menjadi satu basis kepercayaan yang membangun kerjasama dengan BSMI.